1. Pengertian Muradif
dan Musytarak
Menurut
KH. Mahfudh Shiddiq (1992:9) yang dimaksud muradif adalah yang memiliki arti
satu, akan tetapi memiliki beberapa lafadh. Sedangkan yang dimaksud musytarak
adalah yang memiliki lafadh satu, akan tetapi memiliki arti lebih dari satu.
Untuk
lebih jelasnya dalam memahami pengertian muradif dan musytarak, dapat maka kami
berikan keterangan sebagai berikut :
a. Pengertian Muradif
Yang dimaksud muradif ialah kalimah yang
lafadznya banyak, sedangkan artinya sama (sinonim), seperti lafadz al-asad dan al-laiits artinya singa.
b. Pengertian Musytarak
Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk
dua arti atau lebih dengan penggunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi lain
yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang berbeda atau lebih . Seperti lafadh quruu’
yang memiliki arti berdeda, ada yang mengartikan sucian, dan haidh-an.
Lafadh musytarak diciptakan untuk beberapa
makna yang yang penunjuknya kepada makna itu dengan jalan bergantian, tidak
sekaligus.Misalnya lafadh ‘ain yang diciptakan untuk beberapa makna.Yakni
mata untuk melihat, mata air, dan lain sebagainya.Bisa dikatakan penggunaan
kepada arti-arti tersebut adalah tidak sekaligus (Yahya, 1986:254).
2.
Bentuk-bentuk
Lafadh Muradif dan Musytarak
Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadh
muradif dan musytarak, hal utama yang harus diperhatikan adalah siyaqul
kalamnya. Oleh karena itu kami akan memberikan contoh-contoh berikut
(Al-Qatthan, 1992:289-290) :
a. Contoh
lafadh muradif
Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering
menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut :
1)
Al-khauf dan khasyah artinya
(Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi
rahasia umum jika kata Al-khasyah
adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :
وَالَّذِينَ
يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“dan orangg-orang yang menghuungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada
Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini
memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah
dikhususkan hanya untuk Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf
berfaedah melemahkan atau dha’if.
2)
Asy-syukh
dan al-bukhl artinya Pelit atau
kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl
dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti
kecelaannya atau aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya. Seperti
contoh berikut :
وَمَا
هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang
bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak
disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di
lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi
ilmihi.
3) Hasad
dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :
سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى
مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا
كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا كَذَلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِنْ قَبْلُ
فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا
“Orang-orang badwi
yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang
rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah
janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian
Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki
kepada kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”
4) As-sabil
dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :
وَكَذَلِكَ
نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat
al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula)
jalan orang-orang yang berdosa.”
b. Contoh lafadh musytarak
Contoh lafadh
musytarak yang sering kita jumpai dalam surah
al-Baqarah : 288 adalah sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوءٍ
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa
Arab bias berarti suci dan bias pula berarti masa haidh.Oleh karena itu,
seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui arti
yang dimaksudkan oleh syari’ dalam
ayat tersebut.
Para ulama’
berbeda pendapat dalam mengartikan lafadhquru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu
Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa
suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats
pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa
arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah
mengartikannya dengan masa haidh.
Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir
menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan
dan tambahan.
3.
Implikasi
Hukum dan Kaidah-kaidahnya
a.
Dilalah muradif
Kaidah
yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukkan dua
mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syari’. Kaidahnya adalah sebagai beikut
:
ايقاع المترادفين فى مكان الاخر يجوز
اذا لم يقم عليه مانع شرعى
“mendudukkan
dua muradif pada tempat yang sama diperbolehkan jika tidak ada mani’ syar’iy.”
Al-Quran adalah mukjizat baik dari
sudut lafadh maupun artinya.Oleh karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya.
Bagi Malikiyah mengatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali
“Allahu Akbar”, sedang Syafi’iyah hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau
“Allahul Akbar” sedangkan Hanafiyah memperbolehkan semua lafadh yang semisal
dengannya, seperti “Allahul A’dhom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya. (https://rudien87.wordpress.com/2010/11/10/ta%E2%80%99wil-dan-nasakh-muradif-dan-musytarak/
diakses pada 30 Maret 2016).
b.
Dilalah musytarak
Dalam
pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar
dan Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang
dikehendaki, atau berbagai makna.Kaidahnya :
استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه
يجوز
“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”
Alas
an mereka berdasarkan pada surah al-Hajj
: 18 sebagaimana berikut :
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ
وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ
اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang
ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?dan banyak di
antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang
dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki.”
Lafadh yasjudu
bisa diartikan menempelkan dahi ke bumi, bias diartikan tunduk. Dan seperti
pada surah al-Ahzab : 56 sebagaimana
berikut :
إن الله وملائكته
يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.”
Arti lafadh yushalluuna bila datang dari Allah berarti memberikan rahmat, bila
dating dari malaikat berarti memintakan ampunan (istighfar) dan bila dari
manusia biasa berarti do’a
Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu
Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni
pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak
diperbolehkan (Yahya, 1986:257-258).
C. Kesimpulan
Berdasarkan
makalah di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan sebagaimana berikut :
Yang
dimaksud muradif adalah yang memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa
lafadh. Sedangkan yang dimaksud musytarak adalah yang memiliki lafadh satu,
akan tetapi memiliki arti lebih dari satu;
Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadh
muradif dan musytarak, hal utama yang harus diperhatikan adalah siyaqul
kalamnya;
Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur
ulama’ menyatakan bahwa mendudukkan dua mmiradif pada tempat yang lain
diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syari’;
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur
ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar dan Abu ‘Ali al-Jaba’I
memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki, atau
berbagai makna.Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan
al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh
musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak diperbolehkan.
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.